Senin, 25 April 2016

NILAI QURBAN DALAM KESADARAN SPIRITUAL


NILAI QURBAN DALAM KESADARAN SPIRITUAL
( KHUTBAH HARI RAYA IEDUL ADHA 1436 H )
Di Masjid Al Abror Sugihwaras Candi
Oleh : Imam Mukozali, S.Ag.
Penyuluh Agama Islam Sidoarjo


Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd
Kaum muslimin rahimkumullah

          Segala puji syukur kita haturkan dari lubuk hati yang paling dalam kepada Allah Swt karena atas rahmat dan karunia – Nya semata, kita semua dapat berkumpul di hari yang penuh dengan kegembiraan, penuh dengan barokah dan ampunan Allah Swt, yaitu di hari raya Iedul Adha atau hari raya Kurban yang merupakan sebuah hari yang menyimpan sebuah sejarah manusia besar, sejarah dari seorang manusia yang mendapat gelar “ Abul Anbiya” (  nenek moyang para Nabi ), Ibrahim As. ( Bapak para Nabi ). Beliau juga disebut dengan “ Kholilullah “ ( Kekasih Allah ) yang menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim As mempunyai kelebihan dan keistimewaan di sisi Allah Swt. Kelebihan dan keutamaan yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim beserta keluarganya dapat kita lihat juga dalam shalawat Ibrahimiyyah yang diajarkan oleh Rasulullah untuk mendo’akan agar Rasulullah SAW mendapatkan karunia dan keberkatan yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT kepada Nabi Ibrahim As dan keluarganya. Hal ini juga berarti agar kita juga bias merenungkan dan mendapatkan ‘ibrah atau pelajaran dari kisah kehidupan Nabi Ibrahim As beserta keluarganya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd
Kaum muslimin rahimkumullah

          Nabi Ibrahim dikenal seorang Nabi yang sangat cerdas. Sebelum diangkat menjadi Nabi, beliau mencari Tuhan dengan akal sehatnya. Dan menemukan Tuhan dengan akal sehatnya pula. Bahkan dalam berdakwah, selalu menggunakan kekuatan – kekuatan akal yang sangat sehat. Beliau membangun kesadaran rasional untuk mengajak para penganutnya mempercayai keberadaan Allah. Karena itu beliau dapat disebut sebagai orang pertama  yang menggunakan kesadaran rasional untuk mempercayai hal – hal yang ghaib.
          Pada tanggal 8 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim As bermimpi menyembelih putra kesayangannya, Ismail. Untuk mengetahui apa makna mimpinya, ia gunakan kekuatan rasionya yang cerdas. Dengan kekuatan rasionya yang cerdas dan kesadaran rasionalnya yang briliyan beliau menafsir mimpinya. Hasilnya, beliau berasumsi bahwa mimpi itu adalah perintah Allah agar beliau senang berkorban, dalam rti korban yang luas. Kesadaran rasionalnya menolak dan meragukan bahwa mimpi itu adalah perintah menyembelih putr kesayangannya. Baginya tak mungkin Allah memerintahkan untuk menyembelih seorang manusia, apalagi ia adalah anak semata wayang yang menjadi buah hatinya. Sejak itu beliau berniat untuk selalu menjadi manusia  yang rajin berkorban. Karenanya, hari itu disebut “ Yaumu Tarwiyah “ ( Hari Kesadaran Rasional ), Hari dimana beliau menggunakan kekuatan rasional untuk menginterpretasi mimpinya.
          Ternyata beliau bermimpi kembali pada hari kedua ( 9 Dzul Hijjah ) dengan mimpi yang sama. Mimpi kedua ini diasumsikan oleh beliau sebagai koreksi terhadap interpretasi rasionalnya. Beliau sadar bahwa tafsir rasionalnya salah. Beliau mengerti benar bahwa  kekuatan kesadaran rasionalnya keliru dalam menangkap makna mimpinya yang sebenarnya. Karena itu beliau mencoba untuk menafsirnya dengan kesadaran empirik. Kalau kesadaran rasional bergerak di dunia wacana, mengawang di dunia idea, kesadaran empiric bergerak di dunia yang bias diamati secara langsung oleh kekuatan – kekuatan inderawi kita. Dengan kesadaran empiric semacam itu beliau menafsirnya dengan perintah menyembelih hewan kurban. Dalam banyak cerita, disebutkan beliau hari itu menyembelih ratusan domba. Karenanya, hari itu disebut “ Yaum Arafah “ ( hari tahu, atau hari kesadaran empirik ).
          Namun Allah Maha Besar, Allah Maha ‘Alim, sekali lagi ternyata tafsir empirik itu juga tidak benar. Setelah melewati dua kesadaran kemanusiaan yang paling ampuh yang seringkali digunakan oleh Nabi Ibrahim dalam kehidupan berdakwah dan kehidupan sehari – harinya tak mampu lagi menafsir makna mimpinya, beliau kembali pada kesadaran spiritual yang tinggi. Dengan kesadaran spiritual yang amat tinggi itu beliau buhulkan kepasrahan dan tawwakal yang luar biasa. Dilenyapkan semua pertimbangan – pertimbangan kesadaran rasional dan empiriknya. Diletakkan dirinya di posisi sebagai “ budak “ Allah yang tak memiliki apa-apa, termasuk tidak memiliki dirinya sendiri. Saat semacam itulah beliau menghampiri putranya Ismail yang sudah menginjak lincah dan lucu. Beliau berkata,

          Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Anakku, aku bermimpi menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapatmu?”. tanpa diduga Ismail menjawab,
          Ayahku, lakukan saja apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu. Insya Allah ayah akan melihatku termasuk orang – orang yang bersabar “.

          Setelah mengetahui sikap putranya, kesadaran spiritual Nabi Ibrahim semakin mantap. Karena mendapat dukungan dari putranya sendiri. Pergilah beliau berdua dengan putranya ke Mina untuk melaksanakan perintah. Kesadaran spiritual yang kokoh membuat Nabi Ibrahim mampu berpasrah total didepan Tuhannya, pada saat demikian ia baringkan putranya di atas sebuah batu, dan diangkatlah pedangnya yang tajam, siap untuk menyembelih putranya, pada saat itu pulalah Allah memanggilnya,
103. tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).
104.  dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim,
105.  Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu[1284] Sesungguhnya Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.
107. dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar[1285].  
( A l – Shaffat : 103 – 107 )

          Artinya perintah yang diberikan oleh Allah Swt kepada Nabi Ibrahim As merupakan ujian untuk menilai apakah Nabi Ibrahim benar – benar tunduk ikhlas kepada Allah Swt atau tidak. Ternyata Nabi Ibrahim bisa melewati ujian ini dengan baik.  Firman Alloh QS. An’am 162 :
Katakanlah : Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Semua kepasrahan hanya kepada Alloh SWT.

Syaikul Islam Ibnu taimiyah ra seorang ilmuwan besar mengatakan : “Ibadah harta yang paling mulia adalah penyembelihan qurban, sedang ibadah badan yang paling utama adalah sholat”

Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd
 Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
          Banyak orang yang berpikir bahwa dengan akalnya, dengan rasionya, manusia bisa memahami semua yang ada di alam ini sehingga akal kemudian menjadi ukuran segala – galanya. Sesuatu yang tidak masuk akal kemudian harus ditolak, termasuk juga ajaran agama, jika memang terasa musykil bagi akal manusia. Prinsip mereka adalah : Jika terjadi pertentangan antara akal dengan wahyu, maka kadang-kadang akallah bagi mereka yang harus dimenangkan dan bukan wahyu. Akal kemudian menjadi tuhan baru bagi sebagian manusia. Na’udzu billahi min dzalik
          Hal ini bukan berarti bahwa kita tidak boleh menggunakan akal. Allah Swt tetap menyuruh kita untuk mempergunakan potensi akal yang telah dianugerahkan kepada kita dengan sebaik – baiknya untuk berfikir. Akan tetapi harus dipahami pula bahwa akal manusia mempunyai keterbatasan. Terlalu banyak hal yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia. Kisah Nabi Ibrahim diatas memberikan isyarat kepada kita bahwa kemampuan akal manusia ada batasnya. Hanya Allah yang maha mengetahui segenap rahasia yang ada di ala mini. Ilmu manusia, jika dibandingkan dengan kebesaran Allah Swt, laksana setetes air di tengah lautan yang begitu luas. Karena itu sangat tidak pantas bagi manusia untuk menyombongkan diri, menganggap dirinya yang paling tahu dan paling pandai, apalagi sampai menyalahkan Al – Qur’an dan hadits  Nabi Muhammad SAW. Na’udzu billahi min dzalik.

Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd
 Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Kebanyakan dari manusia adalah karena kesombongannya, baik sombong karena hartanya, sombong karena ilmunya, sombong karena kedudukan dan pangkatnya, sombong karena keturunannya dan sebagainya. Kalau sudah seperti itu manusia pasti lupa terhadap keberadaan dirinya dengan Alloh SWT. Oleh karena itulah Nabi Ibrahim as, walaupun diberi kelebihan oleh Alloh SWT masih tetap rendah diri dan tawadhuk serta menghambakan kepada Alloh SWT. Karena manusia diberi kelebihan oleh Alloh kesempurnaan dan kelebihan dari pada makhluk lain termasuk panca indera kita, tetapi tidak semua panca indra ini digunakan dengan sebaik-baiknya,  Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat al A’raf ayat 179.


“ Dan sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah  dan mereka amempunyi mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah, mereka itu sebagai binatang ternak bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”

Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Kalau begitu bagaimana sebenarnya bentuk kesadaran yang perlu kita tumbuh kembangkan untuk bisa meraih karunia yang hakiki dari Allah SWT. Kebenaran hakiki adalah hanya milik Allah SWT. Karena itulah manusia tidak mempunyai jalan kecuali hanya tunduk dan patuh  sepenuhnya kepada Allah SWT. Dengan kepatuhan total kepada Allah SWT manusia akan bisa meraih anugerah yang tidak ternilai dari Allah SWT berupa keimanan, keyakinan, dan kecintaan kepada Allah SWT.
Untuk meraih itu semua kita harus senantiasa berusaha sekuat tenaga untuk menjadi manuasia yang terbaik dihadapan Alloh SWT. Bagaimana cara yang kita laksanakan agar apa yang kita harapkan diberikan oleh Alloh SWT yaitu dengan meminta ampunan Alloh SWT dengan cara istighfar.
Apabila terlanjur melakukan kesalahan maka secepatnya beristighfar kepada Alloh SWT, karena istighfar akan memberikan dampak yang luar biasa terhadap dirinya, sebagaimana Rasul bersabda :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هُمٍّ فَرَجًا، وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ “
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Barangsiapa yang senantiasa beristighfar niscaya Allah akan menjadikan baginya kelapangan dari segala kegundahan yang menderanya, jalan keluar dari segala kesempitan yang dihadapinya dan Allah memberinya rizki dari arah yang tidak ia sangka-sangka.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi)


Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
          Untuk bisa sampai kepada kesadaran spiritual, tentu saja bukanlah satu perkara yang mudah. Butuh usaha dan perjuangan yang gigih dari kita untk bisa benar-benar memiliki kepasrahan total, keyakinan dan kecintaan kepada Allah. Kunci utamanya ada pada hati kita. Begitu banyak ayat dan hadits nabi Muhammad SAW yang menunjukkan betapa pentingnya usaha untuk menjaga dan membina hati agar selalu berada di bawah naungan hidayah Allah. Rasulullah SAW sendiri pernah menegaskan melalui sabdanya.
Artinya : “ Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik akan baik seluruh tubuh, sebaliknya apabila ia rusak maka rusak semua anggota tubuh. Segumpal daging itu adalah hati.
          Oleh karena itu dalam kesempatan yang sangat membahagiakan ini, marilah mencoba menumbuhkembangkan kesadaran spiritual dalam diri kita  dengan terus menata hati, menghilangkan ego kita dan menyerahkan  diri sepenuhnya kepada Allah sehingga dengan demikian kita berharap agar Allah SWT berkenan untuk terus membimbing kita untuk menemukan kebenaran  yang hakiki yang akan mengantarkan kita kepada kebahagiaan di dunia ini, terlebih lagi di akhirat kelak. Amin ya Robbal ‘alamin. Selamat Hari Raya Idul Qurban 1436 H. Semoga Alloh senantiasa memerikan rahmad dan hiadayah-Nya. Amin