Empat
Kunci Masuk Surga
Imam
Mukozali, S.Ag
Penyuluh
Agama Islam Kab. Sidoarjo
Rasululullah shallallahu’alaihiwasallam
bercerita,
“سَأَلَ مُوسَى رَبَّهُ: مَا
أَدْنَى أَهْلِ الْجَنَّةِ مَنْزِلَةً؟ قَالَ: هُوَ رَجُلٌ يَجِىءُ بَعْدَ مَا
أُدْخِلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ فَيُقَالُ لَهُ: ادْخُلِ الْجَنَّةَ.
فَيَقُولُ: أَىْ رَبِّ كَيْفَ وَقَدْ نَزَلَ النَّاسُ مَنَازِلَهُمْ
وَأَخَذُوا أَخَذَاتِهِمْ؟ فَيُقَالُ لَهُ: أَتَرْضَى أَنْ يَكُونَ لَكَ مِثْلُ
مُلْكِ مَلِكٍ مِنْ مُلُوكِ الدُّنْيَا؟ فَيَقُولُ: رَضِيتُ رَبِّ. فَيَقُولُ: لَكَ ذَلِكَ وَمِثْلُهُ
وَمِثْلُهُ وَمِثْلُهُ وَمِثْلُهُ. فَقَالَ فِى الْخَامِسَةِ: رَضِيتُ رَبِّ.
فَيَقُولُ: هَذَا لَكَ وَعَشَرَةُ أَمْثَالِهِ وَلَكَ مَا اشْتَهَتْ نَفْسُكَ
وَلَذَّتْ عَيْنُكَ. فَيَقُولُ: رَضِيتُ رَبِّ…”.
“(Suatu saat) Nabi Musa
bertanya kepada Allah, ”Bagaimanakah keadaan penghuni surga yang paling rendah
derajatnya?”. Allah menjawab, “Seorang yang datang (ke surga) setelah seluruh
penghuni surga dimasukkan ke dalamnya, lantas dikatakan padanya, “Masuklah ke
surga!”. “Bagaimana mungkin aku masuk ke dalamnya wahai Rabbi, padahal seluruh
penghuni surga telah menempati tempatnya masing-masing dan mendapatkan bagian
mereka” jawabnya. Allah berfirman, “Relakah engkau jika diberi kekayaan seperti
raja-raja di dunia?”. “Saya rela wahai Rabbi” jawabnya. Allah kembali
berfirman, “Engkau akan Kukaruniai kekayaan seperti itu, ditambah seperti itu
lagi, ditambah seperti itu, ditambah seperti itu, ditambah seperti itu dan
ditambah seperti itu lagi”. Kelima kalinya orang itu menyahut, “Aku rela dengan
itu wahai Rabbi”. Allah kembali berfirman, “Itulah bagianmu ditambah sepuluh
kali lipat darinya, plus semua yang engkau mauim serta apa yang indah di pandangan
matamu”. Orang tadi berkata, “Aku rela wahai Rabbi”…”. HR. Muslim (I/176 no 312)
dari al-Mughîrah bin Syu’bah radhiyallahu’anhu.
Seorang muslim yang
mendengar hadits di atas atau yang semisal, ia akan semakin merindukan untuk
meraih kemenangan masuk ke surga Allah kelak. Bagaimana tidak? Sedangkan orang
yang paling rendah derajatnya di surga saja sedemikian mewah kenikmatan yang
akan didapatkan di surga, lantas bagaimana dengan derajat yang di atasnya?
Bagaimana pula dengan orang yang menempati derajat tertinggi di surga? Pendek
kata mereka akan mendapatkan kenikmatan yang disebutkan oleh Allah dalam
al-Qur’an,
“فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا
أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ”.
Artinya: “Seseorang
tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka; yaitu (bermacam-macam
kenikmatan) yang menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang
telah mereka kerjakan”. QS. As-Sajdah: 17.
Namun anehnya ternyata
masih banyak di antara kaum muslimin yang tidak ingin masuk surga, sebagaimana
telah disinggung oleh Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dalam
haditsnya,
“كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا
مَنْ أَبَى” قَالُوا: “يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى؟” قَالَ: “مَنْ
أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى”.
“Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan”. Para sahabat bertanya,
“Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan (untuk masuk surga)?”. Beliau menjawab,
“Barang siapa yang taat padaku maka ia akan masuk surga, dan barang siapa yang
tidak mentaatiku berarti ia telah enggan (untuk masuk surga)”. HR. Bukhari dari
Abu Hurairah
Jadi tidak setiap yang
mendambakan surga, kelak akan mendapatkannya; karena surga memiliki kunci untuk
memasukinya; barang siapa yang berhasil meraihnya di dunia; niscaya ia akan
merasakan manisnya kenikmatan surga kelak di akhirat, sebaliknya barang siapa
yang gagal merengkuhnya; maka ia akan tenggelam dalam kesengsaraan siksaan
neraka.
Kunci tersebut ada empat,
yang secara ringkas adalah:
1.Ilmu.
2.Amal.
3.Dakwah.
4.Sabar.
Empat kunci ini telah Allah
subhanahu wa ta’ala isyaratkan dalam surat al-‘Ashr:
“وَالْعَصْرِ . إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
. إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ
وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ”.
Artinya: “Demi masa.
Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang (1)
beriman[1], (2) beramal shalih, (3)
saling nasehat menasehati dalam kebaikan dan (4) saling nasehat menasehati
dalam kesabaran”.
QS. Al-‘Ashr: 1-3.
Sedemikian agungnya surat
ini, sampai-sampai Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Seandainya Allah
tidak menurunkan hujjah atas para hamba-Nya melainkan hanya surat ini;
niscaya itu telah cukup”
Berikut penjabaran ringkas,
masing-masing dari empat kunci tersebut di atas:
1. Kunci Pertama: Ilmu:
Yang dimaksud dengan ilmu
di sini adalah ilmu agama, yaitu ilmu yang berlandaskan al-Qur’an dan Hadits
dengan pemahaman para sahabat Nabi shallallahu’alaihiwasallam.
Ilmu yang dibutuhkan oleh
seorang insan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama, wajib hukumnya untuk
dicari oleh setiap muslim dan muslimah, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
dalam sabdanya,
“طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ
مُسْلِمٍ”
.“Mencari ilmu hukumnya
wajib atas setiap muslim”. HR. Ibnu Majah dari Anas bin Mâlik dan
dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albâni dalam tahqiqnya atas Misykâh
al-Mashâbîh.
Di antara beragam disiplin
mata ilmu agama, yang seharusnya mendapatkan prioritas pertama dan utama untuk
dipelajari dan didalami terlebih dahulu oleh setiap muslim adalah: ilmu tauhid.
Karena itulah pondasi Islam dan inti dakwah seluruh rasul dan nabi. Allah ta’ala
berfirman,
“وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ
رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ”.
Artinya: “Dan telah Kami
utus seorang rasul di setiap umat (untuk menyerukan) sembahlah Allah semata dan
jauhilah thaghut”. QS. An-Nahl: 36.
2. Kunci Kedua: Amal:
Perjalanan suci seorang
hamba setelah memiliki ilmu belum usai, namun masih ada ‘fase sakral’ yang
menantinya; yaitu mengamalkan ilmu yang telah ia miliki tersebut. Ilmu hanyalah
sarana yang mengantarkan kepada tujuan utama yaitu amal.
Demikianlah urutan yang
ideal antara dua hal ini; ilmu dan amal. Sebelum seorang beramal ia harus
memiliki ilmu tentang amalan yang akan ia kerjakan, begitupula jika kita telah
memiliki ilmu, kita harus mengamalkan ilmu tersebut.
Seorang yang memiliki ilmu
namun tidak mengamalkannya akan dicap menyerupai orang-orang Yahudi, dan mereka
merupakan golongan yang dimurkai oleh Allah ta’ala, sebaliknya
orang-orang yang beramal namun tidak berlandaskan ilmu, mereka akan dicap
menyerupai orang-orang Nasrani, dan merupakan golongan yang tersesat. Dua
golongan ini Allah singgung dalam ayat terakhir surat al-Fatihah:
“اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ . صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ”.
Artinya: “Tunjukkanlah
pada kami jalan yang lurus. Yaitu jalan golongan yang engkau karuniai
kenikmatan atas mereka, bukan (jalannya) golongan yang dimurkai ataupun
golongan yang tersesat“. QS. Al-Fatihah: 6-7.
3. Kunci Ketiga: Dakwah:
Setelah seorang hamba
membekali dirinya dengan ilmu dan amal, dia memiliki kewajiban untuk ‘melihat’
kanan dan kirinya, peduli terhadap lingkungan sekitarnya. Kepedulian itu ia
apresiasikan dengan bentuk ‘menularkan’ dan mendakwahkan ilmu yang telah ia
raih dan ia amalkan kepada orang lain.
Inilah fase ketiga yang
seharusnya dititi oleh seorang muslim, setelah ia melewati dua fase di atas.
Dia berusaha untuk mengajarkan ilmu yang ia miliki kepada orang lain, terutama
keluarganya terlebih dahulu, dalam rangka meneladani metode dakwah Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam
yang Allah ceritakan dalam firman-Nya,
“وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ”.
Artinya: “Dan berilah
peringatan (terlebih dahulu) kepada keluarga terdekatmu”. QS. Asy-Syu’arâ':
214.
Tidak sepantasnya seorang
da’i menyibukkan dirinya untuk mendakwahi orang lain di mana-mana lalu ‘menterlantarkan’
keluarganya sendiri; sebab sebelum ia ‘mengurusi’ orang lain, ia memiliki
kewajiban untuk ‘mengurusi’ keluarganya terlebih dahulu, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ
وَأَهْلِيكُمْ نَاراً”.
Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api
neraka”. QS. At-Tahrîm: 6.
Dalam berdakwah terhadap
keluarga maupun kepada orang lain, kita dituntut untuk senantiasa mengedepankan
sikap hikmah, dalam rangka mengamalkan firman Allah ta’ala,
“ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ”.
Artinya: “Serulah
(manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, serta
berdebatlah dengan mereka dengan jalan yang baik”. QS. An-Nahl: 125.
Inilah kunci ketiga yang
akan mengantarkan seorang hamba ke surga. Namun seseorang tidak dibenarkan
untuk langsung meloncat ke fase ketiga ini (yakni dakwah) tanpa melalui dua
fase sebelumnya (yakni ilmu dan amal); karena jika demikian halnya ia akan
menjadi seorang yang sesat dan menyesatkan ataupun menjadi seorang yang amat dibenci
oleh Allah ta’ala.
Mereka yang berdakwah tanpa
ilmu, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam sifati dalam sabdanya
sebagai orang yang sesat dan menyesatkan,
“إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ
انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ
الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا؛ اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا
جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا”
“Sesungguhnya Allah tidak
melenyapkan ilmu (dari muka bumi) dengan cara mencabut ilmu tersebut dari para
hamba-Nya, namun Allah akan melenyapkan ilmu (dari muka bumi) dengan
meninggalnya para ulama; hingga jika tidak tersisa seorang ulamapun, para
manusia menjadikan orang-orang yang bodoh sebagai panutan, mereka menjadi
rujukan lalu berfatwa tanpa ilmu, sehingga sesat dan menyesatkan“. HR. Bukhari dan Muslim
dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, dengan redaksi Bukhari.
Sedangkan mereka yang
berdakwah kemudian tidak mengamalkan apa yang didakwahkannya, Allah ta’ala cela
dalam firman-Nya,
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ
تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا
لَا تَفْعَلُونَ”.
Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian
kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika laian mengatakan apa-apa
yang tidak kalian kerjakan”. QS. Ash-Shaff: 2-3.
4. Kunci Keempat: Sabar:
Kesabaran dibutuhkan oleh
setiap muslim ketika ia mencari ilmu, mengamalkannya dan mendakwahkannya;
karena tiga fase ini susah dan berat. Proses pencarian ilmu membutuhkan
semangat ’empat lima’ dan kesungguhan, sebagaima disitir oleh Yahya bin Abi
Katsir :, “Ilmu tidak akan didapat dengan santai-santai”.
Pengamalan ilmu juga
membutuhkan kesabaran, karena hal itu merupakan salah satu jalan yang utama
yang mengantarkan seorang hamba ke surga, dan jalan menuju ke surga diliputi
dengan hal-hal yang tidak disukai oleh nafsu. Dalam hadits shahih disebutkan,
“حُفَّتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتْ
النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ”.
“(Jalan menuju ke) surga
diliputi dengan hal-hal yang dibenci (nafsu), sedangkan (jalan menuju ke)
neraka diliputi dengan hal-hal yang disukai hawa nafsu”. HR. Muslim dari Anas bin
Mâlik radhiyallahu’anhu. Semoga bermanfaat.