HALAL BI HALAL
DAN
KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA
Imam Mukozali, S.Ag., MM
Penyuluh Agama Islam Kab. Sidoarjo
Halal bi halal
merupakan rangkaian hari lebaran atau hari Raya Idul Fitri karena hari raya
yang lain tidak ada lebaran misalnya hari Raya Idul Adha. Banyak ahli sejarah
berpendapat bahwa halal bi halal lahir dan tumbuh di negara Indonesia, tidak
ada di negara lai, hal ini bisa kita lihat di negara-negara lain istilah ini
“halal bi halal” tidak dipakai. Seperti misalnya di Malaysia namanya tetap
silaturrahim atau di negara Arab kata-kata ini sulit ditemukan. Sehingga halal
bi halal di negara kita adalah sebuah budaya yang unik lahir dari bangsa kita
sendiri.
Penggagas
istilah “halal bi halal” ini adalah KH. Wahab Chasbullah. Cerita
singkatnya setelah Indonesia merdeka 1945, pada tahun 1948, Indonesia dilanda
gejala disintegrasi bangsa karena pada masa ini pula Belanda datang kembali ke
Indonesia untuk memecah belah kemerdekaan dan pada saat itu para elit politik
saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan
terjadi dimana-mana, diantaranya DI/TII, PKI Madiun.
Pada
tahun 1948, yaitu dipertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH. Wahab
Chasbullah ke Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk
mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kemudian Kyai Wahab
memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahmi, sebab
sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan
bersilaturrahmi. Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturrahmi kan biasa, saya ingin
istilah yang lain”. “Itu gampang”, kata Kyai Wahab. “Begini, para elit politik
tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu
kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus
dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling
menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah “halal bi halal”, jelas Kyai Wahab.
Dari saran
Kyai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu,
mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri
silaturrahmi yang diberi judul ‘Halal bi Halal’ dan akhirnya mereka bisa
duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan
bangsa. Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah yang merupakan
orang-orang Bung Karno menyelenggarakan Halal bi Halal yang kemudian diikuti juga
oleh warga masyarakat secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai
pengikut para ulama. Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah,
sementara Kyai Wahab menggerakkan warga dari bawah.
Mengapa
dipakai kata halal bi halal, karena dikandung maksud ada dua analisa pada
saat itu menurut KH Wahab Chasbullah, analisa pertama (thalabu halâl bi
tharîqin halâl) adalah : mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan
hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Atau dengan analisis kedua (halâl
“yujza’u” bi halâl) adalah: pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan
kesalahan dengan cara saling memaafkan.
Dalam kerangka berfikir
ini dapat kita pahami bahwa kunci utama dari halal bi halal adalah mencari
keharmonisan hubungan dengan cara saling memaafkan satu dengan yang lain. Apalagi
yang pada saat itu negara kita baru merdeka, sehingga untuk menyatukan berbagai
macam perbedaan dan faham kesukuan diperlukan
sebuah forum pertemuan yang menyangkut keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Maka,
semakin jelas bahwa halal bi halal memiliki makna yang kuat dan merupakan wujud
respon tentang kemenangan serta spirit kemerdekaan untuk merajut ukhuwah wathaniyah
dan pluralitas kebangsaan dalam menjaga kejayaan kemerdekaan Republik Indonesia.
Sehingga Halal bi halal dan kemerdekaan sesuatu yang sangat erat kaitannya
sehingga mempunyai makna yang dalam dan merupakan kegiatan yang positif, yakni
adanya pengakuan bersalah dari seseorang terhadap orang lain, kemudian mereka
saling meminta dan memberi maaf sebagai dasar membangun khazanah kebangsaan.
Dengan begitu, hubungan antar manusia kembali ke titik 0 (netral), kalau bahasa
kita setiap hari dengan kata “kosong-kosong”,
tak ada lagi prasangka, kebencian, atau dendam. Sebab, bukankah Allah SWT akan
mengampuni dosa atau kesalahan seseorang terhadap orang lain, bila seseorang
itu telah meminta maaf kepada orang lain. Seperti Firman Alloh SWT,’’Dan hendaklah mereka memaafkan dan
berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’’ (QS An-Nuur: 22) atau dalam firman
Alloh yang lain : ” Yaitu orang-orang
yang menafkahkan hartanya diwaktu lapang dan sempit, dan menahan amarah dan
memaafakan kesalahan orang lain, dan Alloh menyukai orang-orang yang berbuat
kebaikan”. QS. an Nisa’ ayat : 134.
Hubungan kasih
sayang yang sarat dengan nilai-nilai persaudaraan, kesetiakawanan dan saling
mengasihi baik antara sesama muslim maupun nonmuslim. Yakni menyambung kasih
sayang dengan cara membangun kesepahaman diantara sesama warga bangsa
Indonesia. Semoga manfaat. (Imam
Mukozali, PAF Kemenag Siodarjo, diolah dari berbagai macam sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar