Jumat, 01 Januari 2016

HALAL BI HALAL DAN KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA



HALAL BI HALAL DAN
KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA
Imam Mukozali, S.Ag., MM
Penyuluh Agama Islam Kab. Sidoarjo

Halal bi halal merupakan rangkaian hari lebaran atau hari Raya Idul Fitri karena hari raya yang lain tidak ada lebaran misalnya hari Raya Idul Adha. Banyak ahli sejarah berpendapat bahwa halal bi halal lahir dan tumbuh di negara Indonesia, tidak ada di negara lai, hal ini bisa kita lihat di negara-negara lain istilah ini “halal bi halal” tidak dipakai. Seperti misalnya di Malaysia namanya tetap silaturrahim atau di negara Arab kata-kata ini sulit ditemukan. Sehingga halal bi halal di negara kita adalah sebuah budaya yang unik lahir dari bangsa kita sendiri.
Penggagas istilah “halal bi halal” ini adalah KH. Wahab Chasbullah. Cerita singkatnya setelah Indonesia merdeka 1945, pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa karena pada masa ini pula Belanda datang kembali ke Indonesia untuk memecah belah kemerdekaan dan pada saat itu para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana, diantaranya DI/TII, PKI Madiun.
Pada tahun 1948, yaitu dipertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH. Wahab Chasbullah ke Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kemudian Kyai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahmi, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahmi. Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain”. “Itu gampang”, kata Kyai Wahab. “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah “halal bi halal”, jelas Kyai Wahab.
Dari saran Kyai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang diberi judul ‘Halal bi Halal’ dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah yang merupakan orang-orang Bung Karno menyelenggarakan Halal bi Halal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kyai Wahab menggerakkan warga dari bawah.
Mengapa dipakai kata halal bi halal, karena dikandung maksud ada dua analisa   pada saat itu menurut KH Wahab Chasbullah, analisa pertama (thalabu halâl bi tharîqin halâl) adalah : mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Atau dengan analisis kedua (halâl “yujza’u” bi halâl) adalah: pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.
Dalam kerangka berfikir ini dapat kita pahami bahwa kunci utama dari halal bi halal adalah mencari keharmonisan hubungan dengan cara saling memaafkan satu dengan yang lain. Apalagi yang pada saat itu negara kita baru merdeka, sehingga untuk menyatukan berbagai macam perbedaan  dan faham kesukuan diperlukan sebuah forum pertemuan yang menyangkut keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka, semakin jelas bahwa halal bi halal memiliki makna yang kuat dan merupakan wujud respon tentang kemenangan serta spirit kemerdekaan untuk merajut ukhuwah wathaniyah dan pluralitas kebangsaan dalam menjaga kejayaan kemerdekaan Republik Indonesia. Sehingga Halal bi halal dan kemerdekaan sesuatu yang sangat erat kaitannya sehingga mempunyai makna yang dalam dan merupakan kegiatan yang positif, yakni adanya pengakuan bersalah dari seseorang terhadap orang lain, kemudian mereka saling meminta dan memberi maaf sebagai dasar membangun khazanah kebangsaan. Dengan begitu, hubungan antar manusia kembali ke titik 0 (netral), kalau bahasa kita setiap hari dengan kata “kosong-kosong”, tak ada lagi prasangka, kebencian, atau dendam. Sebab, bukankah Allah SWT akan mengampuni dosa atau kesalahan seseorang terhadap orang lain, bila seseorang itu telah meminta maaf kepada orang lain. Seperti Firman Alloh SWT,’’Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’’ (QS An-Nuur: 22) atau dalam firman Alloh yang lain : ” Yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya diwaktu lapang dan sempit, dan menahan amarah dan memaafakan kesalahan orang lain, dan Alloh menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan”. QS. an Nisa’ ayat : 134.
Hubungan kasih sayang yang sarat dengan nilai-nilai persaudaraan, kesetiakawanan dan saling mengasihi baik antara sesama muslim maupun nonmuslim. Yakni menyambung kasih sayang dengan cara membangun kesepahaman diantara sesama warga bangsa Indonesia. Semoga manfaat. (Imam Mukozali, PAF Kemenag Siodarjo, diolah dari berbagai macam sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar